TAHUKAH KAMU APA ITU PMS?
Apa itu PMS? Pernah dengar? Atau malah
sudah familiar? Biasanya kalau ada teman yang sedang badmood dibilang PMS tanda-tanda dia akan menstruasi. Benar atau
tidak ya? Atau hanya sekadar mitos? Itu fakta. Mari ikuti penjelasannya.
Wanita usia remaja
mengalami masa pubertas dimana salah satunya ditandai dengan menstruasi. Siklus
menstruasi ini biasanya selama 28 hari. Sebelum wanita mengalami menstruasi biasanya
terdapat gangguan seperti gejala emosioal dan fisik yang disebut Prremenstrual
Syndrome (PMS).
PMS (Premenstrual
Syndrome) adalah konstelasi gejala termasuk gangguan mood ringan dan gejala
fisik yang terjadi sebelum menstruasi dan diakhiri dengan mulainya (inisiasi)
mentruasi. Gangguan ini umumnya terjadi pada wanita muda dan setengah baya,
ditandai dengan gejala emosional dan fisik yang secara konsisten terjadi selama
fase luteal dari siklus menstruasi. Wanita dengan gejala afektif yang lebih
parah berarti memiliki kelainan Premenstrual
Dysphoric
Disorder (PMDD).
Hingga 80% wanita menstruasi mengalami gejala PMS dan sekitar 3% hingga 9% wanita memiliki PMDD.
Penyebab PMS hingga
saat ini masih belum diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi diantaranya terjadi ketidakseimbangan faktor hormonal.
Beberapa wanita secara biologis rentan atau cenderung mengalami PMS karena
sensitivitas neurotransmitter terhadap perubahan fisiologis pada hormon. Kadar
hormon estrogen meningkat melebihi batas normal sedangkan hormon progesteron
menurun. Selain itu terdapat faktor kimia yang utama adalah serotonin yang
rendah dimana dapat memicu depresi, kecemasan, agresif, kelelahan, dan mudah
marah. Beberapa bukti menunjukkan bahwa gejala PMS dan PMDD terkait dengan kadar
rendah allopregnanolone metabolit progesteron aktif terpusat dalam fase luteal
dan/atau kadar asam γ-aminobutyric kortikal yang lebih rendah dalam fase
folikel.
Menurut Rosemary (2009),
gejala PMS terbagi menjadi dua golongan yaitu gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif diantaranya terjadi peningkatan energi, peningkatan
libido dan rasa percaya diri. Adapun gejala negatif diantaranya kelelahan,
iritabilitas, mood yang labil, depresi, gelisah, oversemsitif, sulit
konsentrasi, perut kembung, nyeri payudara, sakit kepala, perubahan nafsu
makan, dan gangguan pencernaan.
Wanita yang mengalami
gejala PMS mengalami penurunan signifikan terhadap kegiatan dan hubungan
sosial. Gejala-gejala tersebut dapat diatasi dengan swamedikasi yaitu dengan
terapi farmakologis dan nonfarmakologis.
-
Terapi Nonfarmakologis (Tidak dengan Obat)
Terapi nonfarmakologis dapat dilakukan dengan
beberapa perubahan gaya hidup. Pada wanita dengan gejala ringan diperlukan
perubahan pola hidup termasuk diet sehat, pembatasan asupan natrium dan kafein,
olahraga, dan pengurangan stress. Pada wanita dengan gejala sedang, diperlukan
pengobatan farmakologis dan modifikasi gaya hidup seperti suplemen vitamin dan
mineral, seperti vitamin B6 (50-100 mg setiap hari) dan kalsium karbonat (
1.200 mg setiap hari). Intervensi gaya hidup harus dimulai dan diikuti selama 2
bulan sebelum menujukkan gejala PMS. Pada terapi/pengobatan gejala PMS tidak
boleh direkomendasikan obat-obatan herbal, pengobatan homeopati, suplemen
makanan , relaksasi, terapi pijat, refleksologi, perawatan chiropraktik, dan
biofeedback karena berkaitan dengan kurangnya masalah keamanan data.
-
Terapi Farmakologis (Dengan Obat)
Jika
gejalanya tidak berubah setelah 2 bulan charting gejala dan modifikasi gaya
hidup maka diperlukan terapi farmakologis. Terapi farmakologis yang utama pada
PMS adalah selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) seperti citalopram,
escitalopram, fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, dan sertraline. Perlu
diperhatikan pada penggunaan paroxetine karena dapat meningkatkan risiko
kelainan bawaan pada trimester pertama kehamilan. Paroxetine harus dihindari
oleh wanita subur karena merupakan bentuk kontrasepsi. Adapun terdapat obat
alternatif lain yaitu seperti selective serotonin-norepinefrin reuptake
inhibitor (SNRI) venlafaxine, serta agonis HCs. Jika pengobatan dengan opsi di
atas tidak berhasil, dapat dengan menggunakan terapi hormonal dengan agonis
GnRH, seperti leuprolide. Leuprolide meningkatkan gejala emosional
pramenstruasi serta beberapa gejala fisik, seperti kembung dan nyeri payudara.
Namun, penggunaan terbatas karena pemberian secara intramuskuler dan efek
samping hipoestrogenisme (misalnya, kekeringan pada vagina, hot flash, dan
demineralisasi tulang) sangat membatasi penggunaannya.
Referensi:
Joseph
T. DiPiro, et.al. 2016. Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach Tenth Edition. McGraw-Hill Education.
Dickerson
LM, Mazyck PJ, Hunter MH. 2003. Premenstrual Syndrome. Am Fam Physician 67(8):1743-1752
Rosemary R. Berardi, et.al. 2009. Handbook of Nonprescription Drugs_ An Interactive
Approach to Self-Care Sixteenth Edition. Washington DC: American Pharmacist
Association.